Oleh : Ustad Subairi
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin DDI Paria.
KLIKSULSEL.COM - Didalam Al-Qur’an dijelaskan ada empat tipologi anak, yang pertama anak sebagai zinatul hayatiddunya (perhiasan hidup dunia) Allah SWT, berfirman almalu walbanun zinatul hayatiddunya walbaqiyatus shalihat khairun ‘inda rabbika tsawaba wakhairun ‘amala (harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup dunia).
Perhiasan adalah untuk kesempurnaan, apabila kita sudah memakai pakaian yang cukup untuk menutup aurat mungkin kita merasa belum sempurna kalau belum ada perhiasan, tetapi perhiasan tetap sebagai pelengkap bukan yang utama, oleh sebab itu ada orang tua yang membangga-banggakan anaknya sebagai perhiasan hidup dunia. Anak yang tampan, anak yang cantik, anak yang gagah, anak yang mengikuti mode.
Tapi bagaimana dengan Agamanya? Bagaimana dengan akhlaknya? Yang mana itu akan dibawa hingga ke akhirat nanti, inilah tipe anak yang pertama sebagai perhiasan yang dibanggakan oleh orang tuanya.
Tipologi anak yang kedua, anak sebagai cobaan, sebagai ujian, sebagai fitnah, seperti firman Allah SWT, wa’lamu annama amwalukum waauladukum fitnah waannallaha ‘indahu ajrun ‘azhim (ketahuilah bahwa harta benda dan anak-anakmu itu adalah fitnah). Fitnah disini adalah sebagai ujian. Apakah orang tua yang dititip amanah anak oleh Allah SWT, mampu ntuk membesarkan dan mendidik anaknya, menjadi anak yang sholeh, menjadi muslim yang mengerti dengan tanggung jawabanya.
Ibarat ujian tentu ada yang lulus dan ada yang tidak lulus, banyak orang tua yang kemudian kaget tatkala misalnya tiba-tiba dia dipanggil oleh kepala sekolah dia mengira mungkin anaknya berprestasi akan diberi penghargaan ternyata kepala sekolah memberi tahukan bahwa sekolah tidak mampu lagi mendidik anaknya.
Atau mungkin tiba-tiba saja anaknya dipanggil polisi dan dituduh terlibat narkoba orang tuanya langsung marah-marah kepada pihak kepolisian dengan mengatakan pasti ini salah tangkap tidak mungkin anak saya terlibat narkoba jangankan narkoba minum-minuman keraspun tidak pernah, merokok pun juga tidak pernah.
Ternyata polisi memberikan bukti-buktinya baru orang tuanya kaget, banyak orang tua yang kemudian kaget dan tidak lulus dalam cobaan mendidik anaknya Al-Qur’an mengigatkan harta benda dan anak-anak adalah ujian.
Dan tipologi anak yang ketiga ini lebih gawat lagi anak sebagai musuh Al-Qur’an mengatakan inna minazwajikum waauladikum ‘aduwwallakum fahzaruhum (sesungguhnya diantara pasangan hidupmu dan anak-anakmu itu ada yang menjadi musuh bagimu awaslah dengan mereka), musuh dalam artian yang sebenarnya, tapi saya menyaksikan didalam berita televisi atau membaca berita di koran bagaimana anak memperkarakan orang tuanya kepengadilan, anak menuntut orang tuanya dan tidak sedikit juga anak yang sampai menyakiti orang tuanya bahkan sampai membunuh orang tuanya inilah yang dimaksud anak sebagai musuh.
Tapi yang lebih banyak lagi adalah musuh didalam cita-cita, musuh didalam gaya hidup, orang tuanya melakukan amar ma’ruf nahi mungkar anaknya melakukan amar mungkar nahi ma’ruf, orang tuanya mengajak kepada kebaikan anaknya mengajak kepada keburukan, orang tuanya mencegah dari kemungkaran anaknya justeru melakukan kemungkaran-kemungkaran. Maka dalam hal ini anak menjadi musuh bagi orang tuanya.
Sedangkan tipologi anak yang keempat, inilah anak yang diinginkan dinyatakan didalam Al-Qur’an dalam bentuk doa wallazina yaquluna rabbana hablana min azwajina wazurriyyatina qurratu ‘a’yun waj’alna lilmuttakina imama (orang-orang yang berdoa memohon kepada Allah SWT, ya tuhan kami anugerahkanlah kepada kami dari pasangan hidup kami dari anak cucu kami cahaya mata dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa), Qurrata ‘a’yun dalam bahasa lain adalah anak yang sholeh. Setiap orang tua terutama pasangan muda kalau ditanya dia mengiginkan apa anaknya nanti? Hampir serentak semuanya menjawab menjadi anak yang sholeh.
Tetapi ibarat pepatah melayu menyatakan rumah tanpak jalan tak tau banyak orang yang mengiginkan mendapatkan anak yang sholeh tapi tidak tau bagaimana cara mendapatkan anak yang sholeh. Ingat anak yang sholeh itu tidak dilahirkan, tapi anak yang sholeh itu dididik semua anak kata Nabi Muhammad SAW, dilahirkan dalam fitrah, dalam keadaan suci maka ibu bapak nyalah yang akan membentuknya, tapi Nabi Muhammad SAW, tidak mengatakan mengIslamkannya karena memang setiap anak dilahirkan sebagai muslim, oleh sebab itu tidak perlu orang tuanya mengIslamkan kerena semua anak siapapun orang tuanya terlahir sebagai muslim, maka nanti orang tua nyalah yang berperan apakah tetap memelihara iman ke Islaman anaknya ini atau merubahnya menjadi Yahudi, merubahnya menjadi Nasrani, merubahnya menjadi Majusi.
Tidak perlu ada orang bertanya atau kita tidak perlu menanyakan sejak kapan kamu menjadi muslim? Kadang-kadang kita digoda juga, sejak kapan kamu menjadi muslim, kapan pertama kali kamu mengucapkan dua kalimah syahadah, hal ini tidak perlu ditanyakan, selama dia tidak pernah keluar dari Islam, karena dilahirkan sebagai muslim, oleh sebab itu didalam Islam semua anak yang meninggal sebelumdia dewasa sebelum ‘akil balig semuanya akan masuk syurga, siapapun bapaknya apakah bapaknya Yahudi, bapaknya Nasrani, bapaknya Majusi, bapaknya ateis kalau anak itu meninggal waktu kecil dia akan masuk syurga karena apa? Karena dia meninggal dalam ke Islamannya.
Nah orang tualah yang berperan mendidik anaknya itu menjadi anak sholeh atau tidak. Sejak kapan orang tua mendidik anaknya menjadi sholeh dalam konsep Islam justeru sebelum melakukan perkawinan sudah dimulai merancang anak yang sholeh yaitu tatkala mencari pasangan hidup, mungkin bagi sebahagian besar sudah terlambat untuk mencari pasangan hidup, bisa kita terapkan untuk mencari menantu. Kalau kita ingin bagi yang sudah punya anak, ingin mendapatkan cucu yang sholeh itu harus mencari menantu yang sholeh, kalau seorang perempuan ingin suatu saat nanti anaknya menjadi pemain sepak bola dia harus mencari suami yang senang main sepak bola, yang hobi sepak bola kalau perlu yang gila sepak bola.
Kalau seorang perempuan ingin anaknya menjadi pemain sepak bola tetapi kemudian dia mendapatkan suami yang hobinya main catur itu agak sulit, begitu juga sebaliknya kalau seorang laki-laki ingin anaknya menjadi anak yang sholeh dia harus mencari perempuan yang bisa menjadi ibu dari anak yang sholeh itu, oleh sebab itu kepada setiap pemuda-pemuda yang akan menikah Rasulullah SAW, memberikan bimbingannya tunkahul maratu liarbain (perempuan itu dinikahi karena empat alasan atau empat pertimbangan) pertama limaliha (karena kekayaannya) mungkin dia orang kaya atau anak orang kaya yang kedua lijamaliha (karena kecantikannya) yang ketiga lihasabiha (karena garis keturunannya) dan baru yang keempat lidiniha (karena Agamanya) fazfar biza tiddin taribat yedak (maka peganglah yang punya Agama ini maka engkau akan kuat).
Taribat dari kata turab, orang-orang Arab dulu kalau habis makan, kalau dia puas dia ambil pasir dia gosokkan tangannya sehingga tangannya berpasir itu berarti tanda dia puas atau taribat yedak itu menunjukkan engkau akan puas atau orang yang memasukkan tangannya kedalam pasir kemudian kokoh tidak bisa ditarik keluar itu juga bisa berarti taribat yedak. Jadi yang paling penting adalah Agamacuman timbul pertanyaan kalau yang paling menentukan adalah Agama dalam memilih jodoh kenapa Agama diletakkan dinomor empat bukan dinomor satu? Kenapa Nabi tidak mengatakan tungkahul maratu liarbain lidiniha harusnya nomor satu Agama tapi justeru dimulai dengan kecantikan , dengan kekayaan,dengan keturunan lalu Agama yang keempat.
Dalam hal ini saya teringat dengan teori yang dikemukakan oleh Buya Hamka yang beliau sebut dengan teori seribu. Agama itu nilainya satu kalau seseorang mendapatkan nilai satu sudah ada yang berharga, tapi kalau dibelakang angka satu ada nol satu lagi dia menjadi sepuluh tambah nol satu lagi menjadi seratus tambah nol satu lagi menjadi seribu. Kalau dia mendapatkan isteri seorang muslimah dia sudah dapat satu kalau muslimahnya kaya dapat sepuluh kalau muslimahnya cantik dapat seratus, kalau muslimahnya dari keturunan yang terpandang dia dapat seribu. Silahkan ditambah nolnya berapa lagi tetap ada nilai dan bertambah nilainya karena ada angka satu tapi kalau tidak ada angka satu berapapun jumlah nol itu pasti tidak ada nilainya, ini yang disebut oleh Buya Hamka dengan teori seribu.
Kemudian juga tatkala hamil Islam memberikan bimbingannya sendiri bagaiman seorang ibu yang hamil kemudan juga tatkala melahirkan baru dilahirkan diajarkan oleh Islam diazankan ditelinga kanannya diiqamahkan ditelinga kiri itu artinya kalimat-kalimat pertama yang didengar oleh seorang anak itu adalah kalimat-kalimat tayyibah. Menurut Ahli sikologi dari Universitas Gajah Mada seorang Prof. Dr. Dalam percobaannya dia mengatakan bahwa informasi-informasi yang masuk kedalam otak bawah sadar itu akan menentukan perilaku seseorang, oleh sebab itu walupun bayi itu tidak tau apa-apa dan tidak bisa merespon tapi informasi yang diberikan lewat kalimat-kalimat azan, lewat kalimat-kalimat iqamah itu masuk kedalam otak bawah sadarnya dan nanti akan berpengaruh pada perilakunya.
Kalau tidak percaya bisa dilakukan percobaan kalau lahir anak kita yang pertama kita lakukan mungkin lagu dangdut, setiap hari diperdengarkan lagu dangdut atau lagu-lagu rok nanti kita bisa melihat bagaimana perobahan perilaku antara anak yang diazankan, diiqamahkan atau yang pertama kali yang dia dengar adalah kalimat-kalimat yang lain. Seterusnya Islam membimbingkan bagaimana mendidik anak intinya adalah karena manusia itu terdiri dari pada jasad, fisik, akal, dan hati maka ketiga-tiganya ini harus mendapatkan santunan yang seimbang ini yang disebut dengan attarbiyah almutakamilah almutawazinah (pendidikan yang sempurna pendidikan yang seimbang) menyantuni ketiga-tiganya.
Orang tua tidak akan pernah untuk lalai menyantuni fisik anak-anaknya memberikan makanan, memberikan minuman, memberikan pakaian dan segala macam halnya, asal dia sanggup, bahkan dia akan bekerja keras demi anak-anaknya. Dan kemudian juga memberikan santunan terhadap akal pikirannya dengan ilmu yang bersifat kognitif dengan memasukkan kesekolah kalau bisa cari sekolah yang bagus, sekolah yang berkualitas tinggi untuk apa? Untuk menyantuni akal pikirannya, tapi kemudian bagaimana dengan ruhiyahnya? Bagaimana dengan Agamanya? Itu yang sangat menentukan. Pendidikan Agama sudah harus dimulai dari awal sekali oleh seorang ibu dirumah, oleh sebab itu memang ibu dan bapak harus punya konsep bagaimana menanamkan pendidikan Agama tarbiyah ruhiyah diniyah kepada anaknya sejak awal.
Islam memberikan tuntunan dalam masalah ini dan banyak hadis Rasulullah SAW, yang memberikan tuntunan kepada kita. Mungkin ada pelajaran-pelajaran Agama disekolah tapi lebih banyak bersifat kognitif, bersifat hafalan. Anak-anak diajarkan, disuruh hafal apa itu anak sholeh? Apa itu taqwa? Apa itu kebaikan? Tapi tidak ada atau kurang melakukan internalisasi nilai, dan internalisasi nilai ini yang paling mendasar dan paling baik adalah dirumah tangga oleh kedua orang tuanya.