Oleh : Ardiansyah Rahim
Inilah profesi langka dan satu-satunya di lingkup pemerintah daerah kabupaten Wajo. Sebuah prestasi membanggakan yang patut diapresiasi, ternyata penerapan pemberian tambahan penghasilan Pegawai ASN (TPP), pemerintah daerah bisa menghadirkan inovasi dengan melahirkan sebuah profesi langka. Maka tidak berlebihan jika Super Administrator e-Kinerja ini diganjar dengan tambahan pemberian TPP berdasarkan kelangkaan profesi sebesar 100 % dari basic TPP.
Ketentuan pemberian TPP bagi Super Administrator ini diatur dalam Pasal 11 Perbup No. 186/2019, bahwa (1) TPP berdasarkan kelangkaan profesi diberikan kepada Pegawai ASN yang melaksanakan tugasnya, memiliki keterampilan dan/atau keahlian khusus dan langka, serta Pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tertinggi pada Pemerintah Daerah, (2) TPP berdasarkan kelangkaan profesi diberikan kepada (a) Sekretaris Daerah, dan (b) Super Administrator e-Kinerja, dan (3) Besaran TPP berdasarkan kelangkaan profesi sebesar 100% dari basic TPP sesuai jenjang jabatan.
Jika selama ini, dokter spesialis dianggap sebagai salah satu profesi langka karena jumlahnya terbatas dan memiliki keahlian khusus yang diperoleh melalui jenjang pendidikan profesi dan spesialis, harus legowo menerima kenyataan jika status itu sudah beralih ke pemilik yang baru.
Jika merujuk Kepmendagri No. 61/2019, sesungguhnya dokter spesialis dapat digolongkan sebagai profesi langka karena memenuhi kriteria, yaitu : 1) keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini khusus dan 2) kualifikasi pegawai pemda sangat sedikit/hampir tidak ada yang bisa memenuhi pekerjaan dimaksud. Standar alokasi TPP yang diberikan bisa dalam jumlah minimal sebesar 10% dari basic TPP.
Prasyarat keterampilan/keahlian khusus seperti apakah yang dibutuhkan untuk menduduki jabatan Super Administrator e-Kinerja. Apakah untuk memperolehnya membutuhkan waktu bertahun-tahun seperti halnya dengan dokter spesialis, hingga dianggap langka. Apakah keterampilan/keahlian khusus itu tidak dimiliki oleh admin e-Kinerja yang skala tanggung jawabnya berada pada tingkat unit kerja.
Selain berdasarkan kelangkaan profesi, pemberian TPP yang merupakan tambahan penghasilan yang diberikan kepada Pegawai ASN (selanjutnya disebut aparatur) juga didasarkan atas beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, prestasi kerja, dan/atau kondisi obyektif lainnya.
Pemberian TPP ini berdasarkan PP No. 12/2019, dalam Pasal 58 disebutkan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada Pegawai ASN dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi pemerintah daerah yang memiliki komitmen terhadap peningkatan kesejahteraan aparatur di daerahnya, pemberian TPP merupakan pilihan terbaik dibandingkan sebelumnya yang menggunakan sistem honorarium kegiatan/kepanitiaan, yang hanya dinikmati sebagian kecil aparatur. Dengan sistem TPP memberi kesempatan yang sama bagi aparatur mendapatkan tambahan penghasilan yang layak dan proporsional sesuai dengan jenjang kelas jabatan. Pemberian TPP ini diharapkan berkorelasi positif dengan peningkatan kinerja, disiplin dan semangat kerja aparatur dalam menjalankan fungsi pelayanan publik yang berkualitas.
Secara faktual sistem honorarium ternyata masih diakomodir dalam Perbup No. 186/2019 yang dikemas dalam bentuk TPP kondisi kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 10, khususnya berkaitan dengan pekerjaan yang beresiko dengan aparat pemeriksa dan penegak hukum. Ketentuan ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Bupati No. 14/2020, dimana salah satunya menetapkan 45 Tim sebagai pekerjaan yang beresiko dengan aparat pemeriksa dan penegak hukum.
Konsekuensi pembentukan Tim ini memungkinkan seorang aparatur terlibat lebih dari satu tim yang berdampak terhadap penambahan penghasilannya melebihi 10% dari basic TPP. Rumus penentuan besaran TPP berdasarkan kondisi kerja kemudian dimodifikasi dengan menambahkan faktor n sebagai faktor banyaknya kondisi kerja yang dialami, menyimpang dari Kepmendagri No. 61/2019. Rumus penentuan besaran berubah menjadi TPP - KK = 10% x Basic TPP pada kelas jabatan x n.
Menjadi wajar jika dalam implementasinya, kepala bagian (Eselon III/a) pada Kelas Jabatan 12 dengan basic TPP sebesar Rp.3.741.852, menerima besaran TPP yang lebih besar dibandingkan dengan kepala dinas (Eselon II/b) pada Kelas Jabatan 14 dengan basic TPP sebesar Rp.5.214.037.
Keberadaan tim ini didasarkan Pasal 21 s/d Pasal 24 Perbup No. 186/2019 dengan merujuk PP No. 30/2019, yang pada intinya menjelaskan tentang penilaian kinerja aparatur berdasarkan produktivitas kerja dapat menambahkan kinerja tambahan dalam bentuk tugas tambahan yang dimuat dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP). Tugas tambahan diluar tugas pokok inilah yang diformalkan dalam bentuk surat keputusan yang bernilai 10% dari basic TPP berdasarkan kondisi kerja.
Interpretasi kondisi kerja terhadap 45 tim yang dianggap beresiko dengan aparat pemeriksa dan penegak hukum merupakan langkah keliru dan mengada-ada. Ke 45 tim yang dibentuk hanyalah menjalankan fungsi administratif dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi. Jika konteks ini digunakan mendapatkan TPP kondisi kerja, sesungguhnya setiap aparatur memiliki resiko yang sama dalam menjalankan tupoksinya sehingga berhak juga mendapatkan TPP Kondisi Kerja.
Sehingga pemberian TTP berdasarkan kondisi kerja kepada 45 tim ini, bukannya menjadi proteksi bagi penerima, tetapi malah bisa bermasalah secara hukum karena mengandung unsur penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan Daerah.
Menurut ketentuan Kepmendagri No. 61/2019 komponen utama TPP didasarkan atas beban kerja dan prestasi kerja (besaran TPP masing-masing sebesar 40% dan 60% dari basic TPP pada kelas jabatan). Kedua komponen inilah yang menjadi alat pengungkit mendorong peningkatkan kinerja, disiplin dan semangat kerja, serta untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur. Bagi aparatur yang memenuhi target pencapaian kinerja sesuai dengan penilaian kinerja berhak mendapatkan 100% TPP sesuai jenjang kelas jabatan. Bahkan jika memenuhi kualifikasi berdasarkan tempat bertugas, kondisi kerja dan kondisi obyektif lainnya, diluar kelangkaan profesi, maka seorang aparatur secara maksimal hanya bisa menerima 130% TPP. Bandingkan dengan Perbup No. 186/2019 yang memungkinkan seorang aparatur bisa memperoleh TPP hingga 500%.
Titik masalah sehingga memunculkan “kreatifitas” mendongkrak penerimaan TPP, terletak pada besaran basic TPP berdasarkan kelas jabatan yang relatif rendah. Pada kelas jabatan tertinggi (sekretaris daerah) misalnya, yaitu kelas 15 besaran basic TPP sebesar Rp. 6.848.993. Secara otomatis akan mempengaruhi besaran basic TPP kelas jabatan berikutnya yang mengalami penurunan. Rendahnya besaran basic TPP ini kemungkinan disebabkan karena faktor skoring Nilai Jabatan pada masing-masing kelas jabatan yang rendah atau bisa juga pada penggunaan Indeks Harga Jabatan (Rp) yang rendah.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu solusi yang perlu dilakukan dengan meninjau ulang besaran basic TPP menurut kelas jabatan untuk mendapatkan angka yang rasional dan proporsional, dengan memperhatikan kemampuan keuangan Daerah. Misalnya untuk kelas jabatan 15, basic TPP di angka antara 15 jt – .20 jt, kelas jabatan 14 antara 10 jt– 14 jt, kelas jabatan 13 antara 7 jt – 9 jt hingga kelas jabatan 1. Tentunya penentuan Nilai Jabatan dan Harga Indeks Jabatan untuk mendapatkan basic TPP per kelas jabatan, mengacu pada Permen PAN & RB No. 63/2011 dan Peraturan Kepala BKN No. 20/2011.
Secara demikian pengelolaan TPP yang dilakukan secara tepat akan meminimalisir timbulnya kecemburuan sosial, tingkat kepuasan aparatur meninggi karena merasa dihargai sehingga berimplikasi pada peningkatan kinerja, disiplin dan semangat kerja, serta terbangunnya soliditas yang kuat sebagai SUPER TIM dalam kerangka pencapaian visi dan misi Daerah. Semoga…
Sengkang, 8 Juni 2020