Oleh Andi Gusti Makkarodda
Siengkang, sebuah kota kecil yang diapit oleh Danau dan perbukitan. Danau Tempe dibagian barat dan disebelah timurnya adalah barisan perbukitan Bulu Pattirosompe.
Saat diguyur hujan, air akan mengalir dari timur dan utara menuju ke selatan dan barat melalui pinggiran Pasar Sentral Sengkang. Dari utara ke selatan, ada dua kanal melintang yakni kanal jalan lembu yang bermuara hingga di jalan Andi Paggaru, kanal jalan Kejaksaan yang melintang di Jalan Andi Pawellang yang airnya mengalir dari hulu pasar Cempalagi hingga belakang bank Mandiri Jl. Andi Paggaru bagian timur.
Sementara dari timur ke barat, ada kanal jalan Cendana menyusuri lorong hitam hingga ke belakang masjid Callaccu (Sebelah selatan pasar sentral sengkang), berikutnya kanal jalan Dahlia yang harusnya bermuara di kanal Cempalagi jalan Andi Pawellangi, malah direkayasa ke jalan veteran depan kampus As'adiyah sehingga bermuara di jalan Jawa, persis samping utara pasar sentral Sengkang.
Banjir Pasar Sentral, pemindahan sementara Pasar Mini Tokampu, Warga Tokampu mengungsi ke Masjid Raya, beberepa perumahan seperti Permatasari dan jalan-jalan dalam kota tergenang. Semua menjadi kabar yang semakin akrab ditelinga kita beberapa tahun terakhir di kota Sengkang.
Bukan hanya itu, pembaca berita online dan sosial media pun makin familiar dengan kabar terkait pejabat daerah yang rutin mengunjungi lokasi banjir seperti banjir Pitumpanua, luapan Danau Tempe, jalur ke Bone Terputus di Cempa kecamatan Pammana, Tanggul di kecamatan Belawa dan tanggul Ujung Pero Sabbangparu yang jebol akibat luapan danau Tempe. Semua berlangsung secara periodik setiap tahunnya.
Tahun berganti tahun, sejak banjir melanda pasar Sentral Sengkang puluhan tahun lalu, tetap saja issu banjir jadi ancaman dan tidak ada solusi mendasar yang menjadi kepastian bagi warga kota.
Mengapa demikian?
Secara sederhana, banjir adalah buah dari perilaku bersama warga kota dan pemerintah daerah. Selain kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat karena minimnya layanan pemerintah seperti tempat pembuangan sampah sementara, kurangnya armada, tidak taatnya warga dan pemda pada rencana detail tata ruang wilayah adalah masalah lain yang harus dibenahi.
Pendangkalan drainase karena buangan sampah rumah tangga bercampur lumpur dari pengerukan gunung semakin menambah masalah. Akibat banjir pasar Sentral Sengkang dan genangan pada berbagai ruas jalan dalam kota adalah kerugian bersama warga dan pemerintah daerah.
Genangan tersebut membuat jalan-jalan yang dibangun oleh pemerintah daerah seakan tanpa standar kualitas akibat cepatnya mengalami kerusakan. Barang dagangan di kawasan pertokoan dan pasar Sentral Sengkang banyak yang terendam saat banjir.
Pemerintah daerah membangun jalan dengan menaikkan permukaan jalan guna menghindari genangan adalah solusi yang sangat merugikan warga. Hal tersebut memaksa warga kota menaikkan lantai rumah, dan tentu biayanya tidaklah murah.
Apa yang harus dilakukan?
Pemerintah daerah selalu problem solving harus membuat terobosan jika ingin keluar dari masalah, masalah yang cukup ekstrim haruslah dengan solusi yang tidak biasa-biasa saja, butuh kepedulian khusus, butuh inovasi dan kreatifitas yang sedikit lebih ekstrim pula. Menawarkan solusi yang biasa-biasa saja tentu tidak akan merubah apa-apa.
Pertama, perbaikan jalan dan drainase. Pemerintah harus mengupas dan membuang material jalan yang dikerjakan. Cara dan kebiasaan pemerintah membangun jalan dengan menaikkan permukaan jalan mengakibatkan lantai rumah warga menjadi rendah dan tergenang harus diubah. Revitalisasi drainase mendesak untuk dilakukan secara serentak, tentu pemerintah harus mebuat momentum dan memobilisasi partisipasi warga, bahu membahu mengeruk drainase dan kanal yang mendangkal.
Kedua, Pemerintah harus nemperbanyak tempat pembuangan sampah sementara dan memaksimalkan armada pengangkut sampah. Kita menyaksikan tulisan sebagai peringatan pada berbagai sudut perumahan dan tanah kosong; Dilarang Membuang Sampah disini atau Anjing yang membuang sampah disini. Kenapa pemerintah daerah tidak menyiapkan tempat sampah dan berani merubah tulisan-tulisan tersebut menjadi; Buanglah sampahnya disini atau calon penghuni surga membuang sampah disini.
Kondisi tersebut sangat jelas adalah parameter ketikmampuan pemerintah daerah menyiapkan sistem pengelolaan sampah yang maksimal maka perlu duduk merenung bersama dan saling mempertanyakan diri; kenapa kita tidak berdaya?
Ketiga, Pasar Sentral Siengkang yang berada pada kawasan yang lebih rendah adalah fakta yang tidak dapat kita sesalkan. Namun jika kita enggan menerima realitas tersebut maka kita punya pilihan yakni memindahkan pasar sentral ke Bulu Pattitosompe.
Akan tetapi apakah solusi tersebut menyelesaikan masalah? Tentu kita butuh solusi lain yakni melakukan rekayasa supaya mengurangi debit air yang mengalir menuju ke kawasan Pasar Sentral Sengkang dengan cara mengalihkan aliran air yang mengalir dari Jalan Bau Baharuddin, Jalan Andi Tantu, Jalan Rusa, Jalan Lembu, Jalan Macan, Jalan Beruang (Bulu Pabbulu, Mattori Tappareng, Tempe dan Teddaopu).
Itu pun dapat dilakukan jika ada kemauan
Wassalam.