Oleh: Andi Gusti Makkarodda
Pemilihan kepala desa serentak pada 103 desa dari 142 desa di kabupaten Wajo akan segera diselenggarakan. Total 375 bakal calon yang mendaftar namun hanya 340 yang ditetapkan menjadi kandidat dan akan dipilih pada tanggal 25 Mei 2021 mendatang.
Menurut sumber penulis, 17 bakal cakades dari 14 desa dinyatakan gugur setelah melewati tahap seleksi wawancara yang dilakukan oleh panitia pemilihan tingkat kabupaten, tentu hal tersebut adalah ruang otoritas panitia kabupaten sebagaimana diatur dalam perda nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan perda nomor 1 Tahun 2015 tentang tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa yang memiliki bakal calon lebih dari 5 orang.
Pemilihan kepala desa secara langsung telah diselenggarakan berpuluh tahun lalu, jauh tahun lebih dahulu jika dibandingkan pemilihan kepala daerah, apatah lagi presiden yang kini juga dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Dahulu peminat calon kepala desa tidak seantusias sekarang. Jumlahnya terbatas untuk desa yang menyelenggarakan pemilihan. Konon karena ada kesan, harus ABRI atau minimal mendapat restu dari rezim orde baru berkuasa. Kedua, warga tidak tertarik menjadi kepala Desa karena kewenangan terbatas dan anggaran khusus desa tidak ada.
Kini setelah kita mengenal istilah Dana Alokasi Desa di era pemerintahan otonomi daerah, maka jumlah peminat menjadi cukup banyak pada setiap desa. Pada pasal 18 Permendagri 44 tahun 2016 disebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi; kewengan di bidang penyelanggaran pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.
Seiring dengan meluasnya kewenangan pemerintahan Desa yang dibarengi dengan tersedia dan meningkatnya alokasi anggaran penyelenggaraan kewenangan tersebut, pembangunan desa lumayan cepat, jalan desa dan gang berleumpur tiba-tiba selesai dengan rabat beton, BUMDesa menjamur hingga ada yang membangun lapangan sepak bola dengan fasilitas lebih baik dari sarana yang dimiliki oleh pemerintah daerah.
Sebaliknya, tumbuhnya peminat cakades juga berbanding lurus dengan jumlah kepala Desa yang masuk buih karena dinyatakan melanggar atau melakukan penyelewengan kewenangan.
Kita berharap, pada pemilihan kades pada periode kedua pasca penetapan Undang-Undang Desa, para kades yang terpilih dan belum memiliki lahan serta kantor desa permanen segera membangun dan merealisasikannya sebagai pusat pelayanan warga yang semakin baik.
*
Kanalisasi untuk memilih calon muda atau calon kades yang lebih berumur tidak terlalu menarik bagi warga wajo. Pesan-pesan leluhur orang Wajo yang dikenal telah mempaktikkan sistem pemerintahan demokratis sejak masa kerajaan Wajo masih tersosiliasi walau kepentingan pragmatis dan praktik money politic pernah meruntuhkan proses demokrasi.
Secara umum, masyarakat Bugis masih mengenal kriteria memilih pemimpin. Getteng (Konsisten/komitmen), Lempu (lurus/jujur), Warani (berani/dermawan), Macca (cerdas) adalah kriteria dasar menentukan pilihan. Masa datang, pemerintah daerah wajib mengkaji dan menata perubahan regulasi terkait pemilihan desa, pengawas pilkades harus dibentuk dengan kewenangan lebih luas dan kuat guna memastikan tidak adanya peluang bagi kandidat dan pendukung cakades untuk melakukan praktik politik uang.
Menciptakan situasi sehingga pemilihan dapat berjalan sesuai kriteria dasar memilih pemimpin adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Terpilihnya kades dengan kriteria yang baik akan menjadi ladang kebaikan dan menutup pintu musibah.
Pemilihan dengan money politic memiliki kemiripan dengan praktek riba, para kandidat akan terjebak pada mahalnya biaya untuk memenangkan pemilihan. Kades terpilih yang harus melayani warga desa malah akan tersandera pada kesibukan mencari jalan mengembalikan biaya operasional masa pemilihan.
**
Pasca pemilihan kepala desa, warga desa akan terbelah sehingga warga akan masuk pada masa memburuknya hubungan sosial mengikuti dukungan masa pencalonan kades.
Banyak desa yang telah melakukan pemilihan tetapi konflik terpelihara hingga kini, bergantinya kades membuat panitia pembangunan masjid ikut berganti, kadus didesak supaya mengundurkan diri, imam masjid tiba-tiba minta berhenti hingga masjid lain berganti jamaah, saling cari tau jadwal kedatangan lawan dukungan supaya tidak bertemu pada pesta pernikahan, dll. Realitas tersebut tidak boleh kita ingkari karena situasi tersebut membuat sulit terciptanya partisipasi warga dan hilangnya gotong royong.
Hal tersebut penting menjadi perhatian khusus pemerintah daerah. Program rekonsiliasi wajib disiapkan. Pemerintah daerah harus berani untuk tidak menjadi bagian masalah dari konflik tokoh dan kepentingan dukungan masa pilkades demi memastikan pelayanan ditingkat pemeritahan desa berlaku sama untuk setiap warga oleh kades terpilih.
***
Pada berbagai kekurangan, tentu kita berharap pemilihan tetap berlangsung dengan baik dan setiap yang mendapatkan kepercayaan secara mayoritas akan menjadi pelayan masyarakat dengan baik.
Wassalam