Oleh: Andi Besse Sitti Fatimah
KLIKSULSEL.COM - Kasus korupsi di Indonesia masih sangat lihai menggerogoti bangsa tanpa henti. Nampaknya, hukuman yang diberikan kepada para “aktor kotor” yang akrab disapa koruptor selama ini tidak memberikan efek jera, apalagi menumbuhkan kesadaran diri bagi para penyandang amanah yang nyatanya malah membuat rakyat merana. Grafik kasus korupsi dari waktu ke waktu semakin mendaki terjal nan menjulang, hal tersebut berbarengan dengan kerugian keuangan negara yang tentunya bertalian erat pula dengan jumlah tersangka kasus korupsi yang tak menunjukan syarat maupun isyarat untuk melandai, apalagi terhenti.
Korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tak main-main dalam mencabik perekonomian negara. Bahkan, korupsi telah mendapat pengakuan akan dampaknya yang luas, massif, sistematik dan terstruktur. Implikasi korupsi yakni terjadinya kerusakan, terlanggarnya Hak Asasi Manusia (HAM), pemiskinan dan kehancuran tatanan kehidupan, makin nyata menjelma bagai kutukan tanpa pengampunan. Layaknya kutukan, dapat diprediksi dengan jelas bahwa muara korupsi ialah terkikisnya kualitas hidup para insan yang pangkal sumbunya adalah degradasi moral individu bila tak mendapat penyembuh yang ampuh.
Sedikit melirik data yang dirangkum oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), tak mencengangkan lagi bahwa modus terlaris yang digunakan para koruptor adalah penyalahgunaan anggaran yang kemudian disusul dengan modus penggelapan, modus “mark-up” dan modus penyalahgunaan wewenang yang tentunya merupakan modus klise namun tetap setia dipraktikkan oleh para tuan dan puan yang katanya memperjuangkan kemakmuran. Seluruh modus dan pelaku yang telah terungkap ibarat gunung es, sesuatu yang hanya tampak di permukaan dan Alhamdulillah terpantau oleh ICW. Namun, korupsi yang sesungguhnya adalah yang terbenam sangat dalam di bawah permukaan sehingga tidak terpantau, tidak termuat media, dan tidak tertangkap oleh aparat penegak hukum. Tentu dengan jumlahnya yang lebih banyak dari yang diperkirakan sehingga tak pernah lekang menjadi momok pencabik keadilan, kemakmuran dan martabat bangsa.
Bagai memuji musuh bebuyutan sembari menelan pil pahit, harus diakui bahwa korupsi merupakan kejahatan transnasional dan tak hanya menjadi kejahatan dalam negeri, melainkan kejahatan lintas batas negara. Korupsi makin kokoh menjadi masalah internasional yang menarik simpati pelbagai negara di belahan dunia. Bak pertarungan yang sangat sengit, demi melawan korupsi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) melalui Resolusi 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003, yang dibuka dan ditandatangani pada 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko, menerbitkan Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention Againts Corruption/UNCAC) dengan landasan hukum untuk bersepakat menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan internasional yang harus diperangi bersama.
Sekedar tapak tilas untuk kembali merangkul ingatan akan bahaya laten korupsi, dalam UNCAC, PBB meyakini bahwa, “corruption is no longer a local matter but a transnations phenomenon that affects all societies and economies…” perlahan-lahan namun pasti, korupsi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan suatu bangsa, terutama pertumbuhan ekonomi negara, sehingga seluruh negara haruslah tarik-menarik, rangkul-merangkul, bahu-membahu, bersama menjadi pilar untuk memberantas korupsi. Dengan kata lain, pil pahit tak hanya ditelan oleh Indonesia sebagai sasaran gelut korupsi tetapi korupsi justru makin ganas menjadi racun dunia. Oleh sebab itu, korupsi sebagai racun haruslah diberi penawar yang bersumber dari rakyat sendiri.
Katanya, “dari rakyat, oleh rakya, dan untuk rakyat” berarti apapun yang berasal dari rakyat maka hasilnya akan kembali kepada rakyat. Jadi dalam hal korupsi, rakyat sebagai pemegang peranan penting dalam menegakkan kebenaran dan membasmi kejahatan (amar ma’ruf nahy mungkar) haruslah menempatkan diri sebagai wasit peniup peluit (whistleblower) di lapangan bila melihat terjadinya pelanggaran. Hal demikian perlu disadari dan dilakukan agar whistleblower menjadi penawar mustajab bagi racun ganas korupsi yang menjadi musuh bersama (common enemy) karena dampaknya yang sangat merusak dan berbahaya.
Kontribusi rakyat sebagai whistleblower guna menjadi penawar racun ganas korupsi dapat tergambarkan secara seksama apabila definisi tentang whistleblower dipahami dengan baik terlebih dahulu. Bila menilik informasi yang tertera di laman http//kws.kpk.go.id yang merupakan fasilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat istilah KWS yang merupakan akronim dari KPK Whistleblower’s System. Berdasarkan pemaknaan KPK, whistleblower merupakan seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat ia bekerja, dan ia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.
Dengan definisi yang telah dipaparkan, Indonesia, utamanya KPK, kian memantapkan hati mengikut pada negara-negara yang telah mengakui whistleblower lebih dulu. Patut dipahami, hal tersebut tak menjadikan KPK serta merta berkiblat pada negara lain, ataupun passif melakukan terobosan sebagai lembaga negara yang dilahirkan untuk menjadi pawang penjinak korupsi. Tetapi KPK teramat sangat paham bahwa whistleblower merupakan pucuk harapan yang berakar kuat dari legitimasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Poin penting yang harus digarisbawahi adalah semangat whistleblower boleh dikata merupakan misi luhur agar menjadi penyembuh atau penawar keganasan racun korupsi yang perlahan-lahan mematikan kejayaan bangsa. Teramat besar peluang dan harapan yang tercurah, dengan adanya whistleblower maka bukan hanya aparat penegak hukum yang dapat menangkap para “aktor kotor” lalu memperlakukannya dengan adil maupun tengil, tetapi seluruh rakyat Indonesia yang memililiki informasi memadai terkait korupsi juga bisa melaporkan indikasi dugaan tindak pidana korupsi.
Peran whistleblower sebagai penawar mustajab racun ganas korupsi tidaklah hanya sebatas melaporkan indikasi korupsi semata dan berharap para koruptor akan merasa jera dijebloskan ke penjara. Sebab, praktik pemberantasan korupsi di Indonesia telah memberi trauma mendalam bahwasanya penangkapan dan penghukuman para koruptor tidak secara ajaib menghilangkan korupsi. Faktanya, korupsi masih tetap subur menjamur di segala penjuru instansi dan tingkatan jabatan. Kenyataan tersebut bukan berarti penindakan terhadap koruptor tidaklah penting, tetapi yang demikian itu tidaklah cukup. Mari mencermati bahwa kalimat, “lebih baik mencegah daripada mengobati” sangat berlaku manjur dalam persoalan korupsi. Harus disadari bahwa upaya pencegahan yang selama ini kurang diprioritaskan, haruslah mendapat tempat yang lebih pantas.
Segenap rakyat yang berani mengambil kesempatan menjadi whistleblower harus memiliki iman yang teguh demi kuatnya benteng pertahanan dalam penguatan pencegahan korupsi pula. Wawasan tentang antikorupsi tidak boleh sekedar menjadi pengetahuan yang dikoar-koarkan, namun wajib dikristalisasikan menjadi nilai-nilai yang tercermin dalam tindakan. Perkembangan hukum antikorupsi dan juga modus-modus korupsi haruslah dipahami dengan baik agar tak terkungkung dalam belukar yang sukar serta terjangkit lingkaran racun ganas korupsi.
Akan tetapi yang lebih penting dari segalanya adalah perjuangan untuk melawan racun ganas korupsi haruslah sejalan dengan spirit keagamaan (ruhul jihad). Seperti yang dikatakan oleh Prof. KH. Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU), bahwa dalam situasi seperti saat ini, perang melawan korupsi bisa disepadankan dengan jihad fi sabilillah. Tidak ada yang menyangkal bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan luar biasa. Karena itu, diperlukan kesungguhan dengan mengerahkan seluruh kemampuan untuk memberantas kejahatan korupsi.
(Penulis merupakan seorang jurnalis lepas sekaligus Tim Hukum di LSM Lentera Independen Pemerhati Aspirasi Nusantara dan juga berstatus sebagai Advokat Muda di FARSEIM Law Office & Partners)
Referensi:
- Ben Jelloun, Tahar.Korupsi.Jakarta:Serambi Ilmu Semesta.2010.Print.
- Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- https://antikorupsi.org/
- https://kws.kpk.go.id/