KLIKSULSEL.COM, MAKASSAR - Eks Direktur PT Citra Lampia Mandiri (CLM), Helmut Hermawan ditangkap Polda Sulsel. Helmut di tangkap diduga membuat pelaporan palsu terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. CLM.
Helmut saat itu sebagai Dirut CLM. Ia ditangkap diduga membuat laporan sesuai dengan laporan Rancangan Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang tidak ditentukan oleh pemerintah.
Peristiwa penangkapan Eks Direktur PT. CLM, mengacu kepada surat perintah penangkapan dengan nomor SP.Kap/08 /II/RES.5./2023/Ditreskrimsus.
Dari surat perintah penangkapan tersebut disebutkan bahwa Helmut ditangkap lantaran diduga menyalahgunakan jabatannya sebagai dirut PT Citra Lampia Mandiri, melakukan tindak pidana pemegang IUP yang dengan sengaja menyampaikan keterangan palsu.
“Tindak Pidana yang dengan sengaja menyampaikan keterangan palsu sebagaimana dimaksud dalam 159 Jo Pasal 11O atau Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan/atau Pasal 263 ayat (1) KUHPidana yang dilakukan oleh Helmut Hermawan yang saat itu menjabat selaku dirut PT Citra Lampia Mandiri.
Menanggapi hal tersebut, WALHI Sulawesi Selatan meminta Kementerian ESDM Republik Indonesia menutup tambang nikel yang dilakukan oleh PT. CLM, dan kepada aparat kepolisian RI hingga KPK untuk mengusut korupsi sumber daya alam dan pengelolaan pertambangan nikel di Luwu Timur.
“Kementerian ESDM RI harus segera menutup aktivitas tambang PT CLM yang telah terbukti melakukan tindak pidana pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), kita juga mengharap kepolisian dan KPK mengusut jaringan korupsi sumber daya alam yang telah terjadi di Kabupaten Luwu TImur.” Ujar Rahmat, Kamis (2/2/23).
Rahmat Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulsel, Menurutnya kasus ini berpotensi melibatkan banyak pihak selain Helmut Hermawan selaku eks-Direktur PT CLM. Rahmat menambahkan contoh kasus perizinan khususnya, terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) meski penting sebagai alat kontrol negara, namun hal ini sarat dengan penyelewengan (korupsi). Kasus-kasus seperti ini juga selalu melibatkan ‘orang besar’ dan pemilik modal.
Menurut Rahmat, PT. CLM sudah punya catatan buruk terkait eksploitasi nikel di Blok Pongkeru dan Lampia.
“Kami telah memantau PT CLM sejak akhir tahun 2020, kami mencatat telah banyak pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan secara berulang kali. Di antaranya pencemaran sungai dan pesisir-laut Malili.” sambungnya.
Rahmat menambahkan PT. CLM memiliki pengalaman buruk terkait pengelolaan limbah. Apalagi PT. CLM termasuk pemain baru di industri tambang, sebagai anak dari PT Asian Pasifik Mining Resource (APMR).
“Dalam catatan kami, secara serius pencemaran Sungai Malili ini sudah berkali-kali terjadi. Januari 2021 kami mendokumentasikan ada pencemaran berupa pencoklatan air Sungai Malili, kemudian di April 2021, Sungai Malili kembali terpapar lumpur tambang, yang menunjukkan buruknya sistem pengelolaan limbah perusahaan.” jelasnya.
PT. CLM, lanjutnya sudah lama tidak memiliki izin limbah B3 (limbah cair). PT CLM juga terindikasi menggunakan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang kadaluarsa, Rahmat menegaskan seharusnya aparat penegak hukum sudah mengambil langkah hukum sejak dulu terkait pelanggaran perizinan yang dilakukan PT. CLM.
Selain itu, perusahaan juga dituntut melakukan pemulihan lingkungan dan pengembalian kerugian yang dialami oleh masyarakat.
“Jadi sebenarnya perusahaan telah merampas banyak hal, bukan cuman aset kekayaan negara, perusahaan juga telah merampas hak masyarakat dengan adanya pencemaran sungai Malili dan perusakan hutan di blok Pongkeru-Lampia.” bebernya.
Selama ini PT. CLM bersembunyi dibalik perizinannya, tapi sekarang mereka terbukti curang dengan melanggar IUP, jadi PT. CLM harus mengembalikan hak-hak masyarakat pesisir malili yang merugi akibat limbah nikel yang mencemari sungai Malili, pungkasnya.
Rahmat juga menambahkan bahwa kawasan hutan yang telah dirusak harus direklamasi dan dipulihkan.
“Mengingat PT. CLM melakukan aktivitas penambangan di Kawasan Hutan, pihak perusahaan harus bertanggung jawab secara penuh dengan melakukan reklamasi pasca tambang hingga menanam kembali pohon-pohon di area bekas tambang untuk mengembalikan fungsi ekologis hutan di wilayah Pongkeru dan Lampia.” tutupnya.
Laporan: Haeruddin