KLIKSULSEL.COM, Makassar--Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan melakukan aksi di depan Kantor PT. Vale Indonesia di Jalan Somba Opu Kota Makassar dengan membentang spanduk “Hapus konsesi tambang PT Vale Indonesia di Pegunungan Lumereo (Tanamalia) Kecamatan Towuti Kabupaten Luwu Timur. (29/05/2023)
Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulsel Rahmat Kottir mengatakan aksi ini memperingati Hari Anti Tambang 2023 yang diperingati setiap 29 Mei, “Momentum Hari Anti Tambang ini kami meminta kepada Pemerintah untuk menghapus konsesi PT. Vale Indonesia di Pegunungan Lumereo”, Kata Kottir
Selain itu, peserta aksi ini menggunakan kostum negara Brazil dan Jepang sebagai simbol protes atas negara pemilik saham yang ada di PT Vale Indonesia.
“Kami menggunakan kostum Brasil dan Jepang karena kantor pusat para pemegang saham PT. Vale Indonesia ada di Brazil dan Jepang, untuk itu kami meminta agar seluruh komponen di PT. Vale menghormati hak-hak masyarakat dan memperhatikan tata kelola lingkungan” Ujar Kottir.
PT. Vale Indonesia yang dulu bernama PT. Inco adalah perusahaan tambang nikel terluas di Indonesia yang menguasai tanah seluas 118.435 hektar yang terbentang di 15 kecamatan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. PT. Vale menjadi pelaku deforestasi terbesar di Kabupaten Luwu Timur. Luas hutan yang hilang di konsesi milik PT. Vale Indonesia Tbk. mencapai 16.138 hektar, terdiri atas 6.031 hektar hutan primer dan 10.107 hektar hutan sekunder selama 1 dekade (2009-2019).
“Konsesi PT Vale meliputi wilayah kelola masyarakat yang kemudian mengancam sumber-sumber kehidupan, seperti halnya yang terjadi di Pegunungan Lumereo atau masyarakat sering menyebutnya Tanamalia, Kecamatan Towuti, Luwu Timur.” Ucap Kottir, Kepala Departemen Eksternal WALHI Sulsel.
Menurutnya, ancaman aktivitas pertambangan tidak hanya menggerus sumber perekonomian masyarakat, tapi juga berpotensi memberi dampak pada mata air, sungai, dan danau towuti. Bahkan juga berpotensi menimbulkan bencana seperti daerah-daerah lain yang telah berubah alam dan lingkungannya karena aktivitas pertambangan seperti longsor yang terjadi di pegunungan Kuari desa Asuli Luwu Timur yang membahayakan pemungkiman penduduk.
Konsesi PT Vale di Blok Tanamalia mencakup dua desa, yakni Ranteangin dan Loeha. Petani merica di blok Tanamalia berdomisili di lima desa (Rante Angin, Loeha, Bantilang, Tokalimbo, dan Masiku) di kecamatan Towuti. Kehidupan seluruh petani di Blok Tanamalia terancam oleh perluasan konsesi PT Vale Indonesia.
Kini kegiatan PT Vale Indonesia di Blok Tanamalia sudah memasuki tahap eksplorasi. Dalam tahap ini, Vale mulai melakukan pengeboran yang merusak beberapa pohon merica milik petani.
“Selama ini kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh PT Vale di kebun merica dilakukan tanpa konsultasi dengan warga. Mereka telah melakukan pengeboran untuk mendapatkan bahan uji sampel sejak 2022 lalu. Perusahaan itu tidak menerapkan Environmental Social Governance (tata kelola sosial) yang seharusnya diemban oleh perusahaan multinasional seperti PT Vale.” Tambahnya
Seluruh petani di Tanamalia sudah merasakan kesejahteraan dengan bertani merica. Mereka tak ingin kembali miskin akibat pengrusakan lahan merica yang telah menghidupkan mereka hingga menyekolahkan anaknya sampai sarjana. Bahkan masyarakat mampu mempunyai kendaraan mewah karena hasil dari merica, bukan pertambangan.
Dilain sisi masyarakat juga cukup cerdas dalam menjaga ekosistem yang ada. Petani tidak akan membuka lahan di daerah rawan longsor dan lokasi mata air, sebab mereka paham betul bahwa jika merusak vegetasi di sekitaran mata air sama halnya merusak sumber air mereka.
Dalam aksinya, WALHI sulsel menuntut kepada PT Vale dan Pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak kelola masyarakat dan petani merica di pegunungan Lumereo/Tanamalia, serta menghapus konsesi PT Vale di Pegunungan Lumereo/Blok Tanamalia.
“Satu-satunya solusi adalah PT Vale harus menghentikan penambangan di Luwu Timur dan bertanggung jawab atas kerusakan ekologis yang telah terjadi!” Tutupnya.
Laporan: Haeruddin